Trenggalek, Metro Jatim;
Proses hukum dugaan kekerasan seksual yang melibatkan pimpinan pondok pesantren Mamba’ul Hikam di Kecamatan Kampak, Trenggalek, terus berlanjut. Korban, yang telah melahirkan seorang bayi laki-laki akibat perbuatan tersebut, kini mengajukan restitusi sebagai bentuk ganti rugi atas penderitaan yang dialaminya.
Melalui pendampingan hukum dari Dinas Sosial PPA Kabupaten Trenggalek, permohonan restitusi diajukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak serta Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2017.
Meskipun hasil tes DNA telah menyatakan kecocokan, terduga pelaku, IS alias Supar, tetap tidak mengakui perbuatannya. Namun, langkah hukum terus berjalan untuk memastikan keadilan bagi korban.
“Restitusi adalah hak korban kekerasan seksual untuk mendapatkan ganti rugi, baik material maupun imaterial. Kami telah mengajukan proses ini sejak tahap penyidikan di Polres Trenggalek, dan kini penilaiannya berada di tangan LPSK,” ujar kuasa hukum korban, Haris Yudhianto.
Hak Korban yang Dijamin Undang-Undang
Haris menegaskan bahwa restitusi merupakan kewajiban pelaku untuk memberikan ganti rugi kepada korban. Jika pelaku dinyatakan bersalah dan tidak mampu membayar, maka negara dapat mengambil alih pembayaran sesuai regulasi yang berlaku.
“Pelaku tidak bisa sekadar mengklaim dirinya tidak mampu. Kami akan menilai aset yang dimilikinya, seperti tanah atau bangunan, yang dapat digunakan untuk membayar restitusi. Jika benar-benar tidak memiliki kemampuan finansial, negara yang akan menanggungnya,” jelasnya.
LPSK Setujui Restitusi Rp247 Juta
LPSK telah menerima permohonan fasilitasi restitusi yang diajukan korban melalui kuasa hukumnya. Dalam sidang yang digelar pada 3 Januari 2025, LPSK menetapkan nominal ganti rugi sebesar Rp247.508.000,00.
Keputusan ini akan dikukuhkan dalam putusan pengadilan bersamaan dengan vonis terhadap pelaku. Jika pelaku tidak memenuhi kewajibannya, hukuman tambahan atau langkah hukum lainnya akan diterapkan.
Langkah Penting bagi Perlindungan Anak
Kasus ini menjadi perhatian penting dalam upaya perlindungan anak dan penegakan hukum terhadap kejahatan seksual di Trenggalek. Haris menegaskan bahwa restitusi bukan sekadar ganti rugi finansial, tetapi juga bentuk pengakuan terhadap penderitaan korban.
“Ini bukan hanya soal uang, tetapi juga keadilan dan pemulihan hak korban. Kami berharap ini menjadi langkah awal bagi penegakan hukum yang lebih tegas terhadap pelaku kejahatan seksual,” pungkasnya.
Dengan keputusan ini, diharapkan korban dapat memperoleh keadilan, sementara kasus ini menjadi pelajaran bagi semua pihak untuk lebih serius dalam menangani kasus kekerasan seksual, khususnya terhadap anak-anak.(wawan/R)