Ngawi, Metro Jatim;
Pandemi Covid-19 yang melanda tanah air berdampak negatif terhadap perekonomian masyarakat. Akibatnya tidak sedikit masyarakat yang mengalami kesulitan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
Tidak terkecuali adalah masyarakat yang tinggal di desa. Pemerintah sebenarnya telah mengucurkan berbagai bantuan kepada masyarakat yang berada dalam status ekonomi rentan.
Bantuan tersebut diantaranya Bantuan Sosial Tunai. (BST) Kementerian Sosial ( Kemensos), Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), dan Kartu Prakerja. Masyarakat(KPM) yang menerima bantuan-bantuan tersebut terdata dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
Sehingga pemerintah pusat melalui Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi untuk mengatasi permasalahan tersebut menerbitkan Peraturan Menteri Desa (Permendes) Nomor 6 Tahun 2020 sebagai upaya menyalurkan hak fakir miskin sebagaimana dilindungi oleh konstitusi.
Peraturan Menteri Desa tersebut pada intinya memberikan ruang bagi pemerintah desa yang dipimpin oleh Kepala Desa untuk menggunakan anggaran dari Dana Desa tahun 2020 guna menyelenggarakan program Bantuan Langsung Tunai Dana Desa. Mengingat pandemi Covid-19 membawa dampak berupa matinya roda perekonomian masyarakat.
Ir.H. Budi Sulistyono selaku Bupati Ngawi untuk menindaklanjuti Peraturan Menteri Desa Nomor 6 Tahun 2020 pada tanggal 4 Mei 2020 menerbitkan Surat Edaran Bupati Ngawi Nomor 140/05.8/404.112.2/2020 tentang Pelaksanaan Bantuan Langsung Tunai Yang Bersumber Dari Dana Desa. Pada Huruf C angka 4 Surat Edaran tersebut tertulis secara expressis verbis bahwa untuk menghindari tumpang tindih bantuan dengan Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah, disarankan besaran penganggaran Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT DD) kurang lebih sebesar 5% (lima persen) dari pagu Dana Desa dan apabila kurang dapat ditambah setelah mendapat persetujuan Camat.
Membaca substansi dari Surat Edaran tersebut, Jovi Andrea Bachtiar selaku Koordinator Judicial Review UU KPK pada Perkara Nomor 77/PUU-XVII/2019 menyampaikan kritik kerasnya kepada Bupati Ngawi. Melalui wawancara via Whatsapp, Jovi berkata, “Kebijakan Bupati yang menghimbau kepala desa agar menggunakan anggaran kurang lebih sebesar 5% dari Pagu Dana Desa untuk menyelenggarakan program BLT DD.
"Perihal itu menunjukan bahwa Bupati tidak berpihak kepada masyarakat miskin. Pada kondisi normal saja masyarakat seperti misalnya yang tinggal di kawasan hutan jati Dusun Gunung Rambut Desa Pitu hanya untuk makan dan minum harus berhutang. Apalagi pada masa-masa sulit karena pandemi Covid-19 ini. Pasti lebih dari 20 keluarga di setiap desa yang memerlukan bantuan karena memang faktanya hingga saat ini belum menerima satupun bantuan dari pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah," kata Jovi.
Lebih lanjut, Jovi yang merupakan salah satu lulusan terbaik pada program Sarjana Hukum, Departemen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada sebagaimana juga seorang putera daerah asli Bumi Orek-orek Ngawi menambahkan komentarnya, "Bagaimana mungkin Bupati Ngawi menghimbau Kepala Desa di wilayah pemerintahan daerah Kabupaten Ngawi agar hanya mengalokasikan sekitar 5% Dana Desa untuk menyelenggarakan program BLT-DD," ungkapnya.
"Sementara kalau merujuk pada Lampiran II Peraturan Menteri Desa Nomor 6 Tahun 2020 tertulis secara tegas bahwa untuk desa yang memperoleh Dana Desa dibawah 800 juta paling banyak dapat mengalokasikan 20% dari pagu Dana Desa untuk program BLT-DD. Sedangkan untuk desa yang memperoleh Dana Desa diantara 800 juta sampai dengan 1,2 miliar rupiah dapat mengalokasikan paling banyak 30% dari Dana Desa untuk menyelenggarakan program BLT-DD," bebernya.
"Aneh, kenapa Bupati menghimbau agar kepala desa hanya menganggarkan kurang lebih 5% untuk program BLT-DD. Padahal kan Kepala Desa dapat menganggarkan lebih dari himbauan bupati tersebut," cetusnya.
Pendiri komunitas hukum Justitia Omnibus tersebut memandang bahwa Surat Edaran Bupati Ngawi tidak memiliki kekuatan hukum mengikat untuk dipatuhi selayaknya peraturan perundang-undangan.
"Surat Edaran itu tidak termasuk dalam kategori peraturan perundang-undangan dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Sehingga Surat Edaran hanya bersifat himbauan dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat selayaknya peraturan perundang-undangan. Apalagi sampai menderogasi substansi pengaturan dalam Peraturan Menteri Desa Nomor 6 Tahun 2020. Memang terkait besaran 5% itu secara logika juga masih bagian atau dibawah 20% atau 30%," terang Jovi.
"Namun, pertanyaannya, mengapa ada pemberian kewenangan kepada Camat untuk menentukan dapat atau tidaknya kepala desa menganggarkan lebih dari besaran yang dihimbau oleh Bupati Ngawi tersebut? Bagaimana jika kepala desa demi kepentingan masyarakatnya ingin menganggarkan diatas 5% tetapi tetap dibawah batas maksimal dalam Peraturan Menteri Desa Nomor 6 Tahun 2020? Bukankah Lampiran II Peraturan Menteri Desa tersebut hanya memberikan kewenangan kepada Camat untuk melakukan monitoring dan evaluasi, bukan sebagai penanggung jawab atau pemangku kebijakan utama," jelasnya.
Atas kejanggalan atau permasalahan normatif dalam Surat Edaran Bupati Ngawi tersebut, Jovi yang merupakan bagian dari masyarakat Kabupaten Ngawi menghimbau kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Ngawi untuk menggunakan hak angket atau hak menyatakan pendapat dan mendesak Bupati Ngawi mencabut Surat Edaran yang tidak berpihak kepada kebutuhan masyarakat desa sebagaimana berada dalam kondisi ekonomi rentan (miskin).
"Apabila Surat Edaran tersebut tidak diperbaiki atau dicabut, maka ada mekanisme uji materil di Mahkamah Agung yang akan ditempuh untuk membatalkan berlakunya Surat Edaran tersebut," lanjut Jovi.
"Terlebih memang pada praktiknya Mahkamah Agung juga pernah menerima pengujian Surat Edaran selain peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Artinya, ada kemungkinan Mahkamah Agung akan mengabulkan permohonan pembatalan Surat Edaran tersebut,"
"Apalagi memang kenyataanya banyak masyarakat desa yang berada dalam ekonomi rentan (miskin) menjadi terhalang untuk menerima BLT-DD karena adanya Surat Edaran Bupati tersebut. Belum lagi secara normatif Surat Edaran tersebut bertentangan dengan esensi asas lex specialis derogat legi generalis dan asas lex superiori derogat legi inferiori," pungkas Jovi. (JUMADI)