Ngawi, Metro Jatim;
Selasa, 21 April 2020 terdapat 4 (empat) orang penyidik dari Satuan Reserse Kriminal Polres Ngawi mendatangi kediaman Harmiati di Pandansari desa Jururejo Ngawi untuk memberikan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) Nomor B/90/SP2HP ke 2/IV/2020/Satreskrim.
Sebelumnya diketahui bahwa Harmiati yang melaporkan Ummi Susanti yang merupakan seorang anak asuh dari almarhumah saudara seibu bernama Sumarmiati. Harmiati melaporkan Ummi Susanti karena dianggap telah menggunakan akta kelahiran berisi informasi palsu guna kepentingan pengurusan akta hibah tanah seluas 1.700m2. Sebagaimana merupakan harta bawaan saudara se-ibunya tersebut yang terletak di Desa Jururejo, Kabupaten Ngawi.
Tanah yang seharusnya menjadi hak waris dari Harmiati selaku saudara se-ibu almarhumah Sumarmiati tersebut telah terdaftar dalam Sertifikat Hak Milik Nomor 128 Gambar Situasi Nomor 744/1979 tertanggal 26 April 1979.
Menurut penuturan Harmiati dan keluarga
tanah tersebut sekarang dikuasai secara sepihak oleh Ummi Susanti berdasarkan klaim adanya proses penghibahan. Akta Kelahiran Nomor 1827/Dsp/1990 yang berisikan informasi palsu sebagaimana menyatakan bahwa Ummi Susanti merupakan anak kandung dari pasangan suami-isteri Parmi Sumarno Adi dengan Sumarmiati sengaja digunakan oleh Ummi Susanti sebagai lampiran guna memperoleh Akta Hibah Nomor 604 tertanggal 13 September 2018 dari Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) bernama Sri Mulyono Hermawan, S.H. Akta kelahiran tersebut diduga merupakan akta kelahiran palsu atau setidak-tidaknya dinyatakan otentik tetapi berisi informasi palsu karena memang menurut Harmiati saudara seibunya tidak memiliki seorangpun anak kandung selama perkawinannya berlangsung hingga meninggal dunia pada 23 Oktober 2018.
"Bagaimana mungkin Sumarmiati mempunyai anak kandung. lha selama hidupnya saja tidak pernah melahirkan anak. Ummi Susanti itu bukan anak kandung dari saudara seibu saya tetapi hanya anak asuh. Klaim Akta Kelahiran Nomor 1827/Dsp/1990 berisi informasi diduga palsu juga semakin dikuatkan dengan adanya Surat Keterangan Nomor 477/102/404.301.10/2019 yang ditandatangani oleh Didik Prasetyo selaku Kepala Desa Jururejo periode 2014-2019. Surat keterangan tersebut pada intinya menegaskan bahwa Parmi Sumarno Adi dan almarhumah Sumarmiati memang merupakan warga masyarakat Desa Jururejo yang selama perkawinan berlangsung tidak memiliki seorangpun anak kandung," terang Harmiati dengan kedatangan 4 orang penyidik dari Polres Ngawi kerumahnya.
"Keluarga saya sangat terkejut saat petugas mengantarkan surat pemberitahuan menyampaikan bahwa proses penyelidikan atau penyidikan atas laporan yang dibuatnya tahun lalu akan dihentikan dengan alasan bahwa hak penuntutan pada perkara tersebut telah kadaluwarsa," terang Harmiati lebih lanjut.
"Penyidik dalam Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) Nomor B/90/SP2HP ke 2/IV/2020/Satreskrim berencana untuk menghentikan proses hukum atas perkara penggunaan surat palsu tersebut merujuk pada Pasal 78 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Selain itu, penyidik menilai bahwa perkara antara Harmiati dan Ummi Susanti sebaiknya diselesaikan secara keperdataan bukan melalui mekanisme pemidanaan," terang Jovi sapaan praktisi hukum dari bumi orek-orek.
Lebih lanjut dikatakan Jovi Andrea Bachtiar, S.H. yang merupakan konsultan hukum non litigasi dari Harmiati dan keluarga setelah membaca isi Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) tersebut menyatakan bahwa ketiga alasan sebagaimana menjadi rujukan bagi penyidik untuk menghentikan proses hukum pada perkara tersebut dinilai sangat tidak mendasar.
Koordinator Nasional Judicial Review UU KPK pada Perkara Nomor 77/PUU-XVII/2019 ini menyatakan, "Sangat lucu apabila penyidik merujuk pada Pasal 78 ayat (1) KUHP untuk menghentikan proses hukum terhadap tindak pidana pemalsuan surat atau penggunaan surat palsu. Sebab apabila dibaca lebih teliti penyidik seharusnya mengetahui bahwa terdapat pengecualian terhadap ketentuan terkait kadaluarsa dalam Pasal 79 ayat (1) KUHP yang menyatakan masa kadaluwarsa dihitung sejak surat palsu tersebut digunakan bukan sejak surat palsu tersebut dibuat," ujarnya.
"Tidak logis juga apabila penyidik beranggapan bahwa perkara tersebut lebih baik diselesaikan melalui mekanisme keperdataan dengan cara menghentikan proses hukum di kepolisian. Sebab sebagai seorang Sarjana Hukum tentu penyidik seharusnya memahami bahwa proses hukum pidana tersebut menjadi landasan bagi pelapor untuk mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) ke Pengadilan Negeri." beber Jovi.
Atas kejanggalan yang dirasakan oleh Harmiati dan keluarga pada proses penegakan hukum tersebut, Tutut Darmoko selaku penerima kuasa insidentil berdasarkan konsultasi yang diberikan oleh Jovi Andrea Bachtiar, S.H., sebagai konsultan hukum non litigasi pada perkara tersebut akan bersurat kepada Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Ngawi yang tembusannya dikirimkan juga kepada Kapolres Ngawi dan Kepada Kompolnas agar proses hukum atas Laporan Informasi Nomor LI/05/IV/2019/Satreskrim tidak dihentikan.
"Sebab apabila penyidik tetap memilih untuk menghentikan penyidikan atas laporan tersebut, maka Harmiati selaku pelapor akan mengajukan gugatan Pra Peradilan ke Pengadilan Negeri merujuk pada Pasal 77 KUHAP guna memperoleh penetapan bahwa proses hukum tetap harus dilanjutkan. Terlebih menurut penuturan Tutut Darmoko yang juga dimintai keterangannya dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Ummi Susanti selaku terlapor juga telah mengakui pada saat dilakukan konfrontasi oleh penyidik bahwa Akta Kelahiran Nomor 1827/Dsp/1990 memang berisikan informasi palsu dan akta tersebut memang telah digunakan olehnya untuk memperoleh akta hibah atas tanah almarhumah Sumarmiati yang merupakan ibu asuh” tegas Jovi Andrea Bachtiar, S.H. . (JV/JM)