Nganjuk, Metro Jatim;
Program Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) dalam percepatan pengurusan sertifikat tanah patut diapresiasi, lantaran sebelumnya untuk mengurus sertifikat perlu waktu yang cukup lama bahkan ada yang bertahun-tahun.
Lamanya pengurusan sertifikat akhirnya menimbulkan praktek-praktek nakal seperti pungutan liar (pungli) yang sangat membebani masyarakat pemohon, dengan kata lain jika ingin cepat jadi sertifikatnya, maka diperlukan biaya tambahan sehingga ada isitilah "BIAYA PERCEPATAN."
Kondisi tersebut seperti apa yang diceritakan oleh salah satu masyarakat Desa Getas, Kecamatan Tanjunganom, Kabupaten Nganjuk yang enggan menyebutkan namanya saat ditemui media ini.
Salah seorang warga desa setempat itu menceritakan bahwa dirinya bersama 24 masyarakat pemohon tengah mengajukan pengurusan sertifikat melalui Pemerintah desa setempat. Namun, sudah berjalan berbulan bulan lamanya juga tidak kunjung jadi.
"Pada saat itu, kami mengajukan lewat pak kades yang lama, tapi Alhamdulillah sekarang sudah jadi lantaran dibantu pak kades yang baru, sayangnya kami masih disuruh bayar Rp.350.000, entah uang itu untuk apa, saya juga kurang tahu, katanya sih biaya percepatan," ucapnya.
Sementara itu menanggapi hal tersebut, Kepala Desa Getas, Suyono saat ditemui media ini membenarkan telah meminta sejumlah dana tambahan guna biaya percepatan. "Memang saya menawarkan bantuan pada saat itu pada warga kami yang telah lama mengurus sertifikat dan belum jadi," ujarnya.
Disinggung soal permintaan dana tambahan sekitar 350 ribuan untuk biaya percepatan, Suyono menjelaskan bahwa biaya tersebut untuk diberikan kepada pegawai BPN, lantaran Suyono berasumsi jika pengajuannya yang sudah lama, berkas berkasnya sudah pasti tertumpuk dengan berkas pengajuan baru. "Uang tersebut saya serahkan pada salah satu pegawai BPN mas, ya itung itung buat ngopi lah, sebagai pengganti mencari berkas yang sudah lama pengajuannya," ungkapnya.
Ditanya, kepada siapa uang tersebut diberikan, Suyono menjawab dengan Lantang bahwa dana tersebut diberikan kepada Mbah Min atau Pak Min salah satu pegawai BPN. "Uangnya saya kasihkan Pak Min Mas," jawabnya.
Ironis memang, disaat pemerintah pusat sedang gencar gencarnya memberikan kemudahan dalam pengurusan sertifikat, namun dari pihak pemerintahan desa hingga pejabat terkait dibawah justru bermain untuk memperdaya masyarakat yang awam.
Hal demikian sangat disayangkan sekali, pungutan pungutan yang tidak jelas harusnya dihindari apalagi kalau semacam uang percepatan itu tidak ada, apa tidak seperti pungli nantinya.
Masyarakat merasa keberatan akan adanya tarikan uang yang tidak jelas "jluntrungannya". Ibarat pepatah "Sudah Jatuh Tertimpa Tangga" itulah kira kira yang di alami 24 pemohon sertifikat tanah. Sudah lama nunggu, bolak balik suruh bayar demi urus sertifikat.
Hingga berita ini diterbitkan, Media Ini akan terus melakukan investigasi ke BPN apakah benar ada biaya percepatan dan siapa sebenarnya Pak Min tersebut? bersambung . . . (SUDAR)